Text
Jungle Child : Rinduku pada Rimba Papua
Jungle Child berkisah tentang Sabine yang pindah ke Irian Jaya pada tahun 1980 bersama orang tua dan dua adiknya. Mereka hidup di tengah-tengah suku Fayu, suku yang baru saja ditemukan dan sama sekali belum tersentuh oleh peradaban modern. Di belantara itu, Sabine kecil tak lagi bermain boneka, tetapi bermain dengan ular serta busur dan panah sungguhan. Bukan permen karet yang ia kunyah, melainkan serangga dan kelelawar. Hari-harinya penuh petualangan seru, dan ia sangat menikmati kehidupannya di rimba Papua.
Ketika itu, suku Fayu masih hidup dalam lingkaran kekerasan. Perang antarsuku, sengketa tanah, dan pembunuhan bisa terjadi kapan saja. Seseorang bisa membunuh anggota suku lain untuk membalaskan dendam anggota keluarga atau sukunya. Namun, berkat interaksi dengan keluaraga Kuegler, orang-orang suku Fayu belajar untuk hidup dalam damai, mengasihi sesama, dan saling memaafkan. Bahkan ada anggota suku yang pola pikirnya begitu terpengaruh oleh nilai-nilai cinta kasih yang diperlihatkan oleh orang tua Sabine; ia menikahi hanya satu perempuan dan memperlakukannya dengan sangat baik, bahkan bisa dibilang romantis.
Kehidupan yang penuh petualangan itu terputus ketika keluarga Sabine berlibur ke Jerman untuk waktu yang cukup lama. Anak-anak keluarga Kuegler menikmati hal-hal baru yang mereka temukan di Eropa, walau bukan berarti mereka bisa menjalani kehidupannya dengan mudah. Supermarket, jalan tol, pemanas ruangan, dan terutama salju, memang membuat anak-anak keluarga Kuegler terpukau, namun mereka selalu rindu pada rimba Papua dan teman-teman Fayu mereka. Akhirnya, mereka berhasil kembali ke Papua setelah orang tua Sabine ditugaskan lagi oleh sebuah organisasi lain.
Pertemuan kembali dengan suku Fayu terasa mengharukan. Sabine begitu senang bisa bertemu lagi dengan teman-teman masa kecilnya. Ia kembali melanjutkan hidup dengan penuh semangat. Namun, Sabine merasa sedikit bersalah. Entah mengapa, ia rindu pada aroma kopi Jerman, roti gulung, dan cuacanya yang dingin. Hatinya terpecah. Di satu sisi, ia sangat mencintai reman-teman Fayu-nya dan keindahan alam Papua. Namun, di sisi lain, kenangan pada hal-hal menakjubkan yang ia temui di Jerman membuatnya tersiksa. Sampai pada suatu hari, Ohri, kakak Fayu Sabine, meninggal dunia. Sabine begitu terpukul. Hari itu adalah hari yang kelam bagi keluarga Kuegler, hari yang tak ingin dikenang oleh Sabine. Jadi, ketika orang tuanya menawarkannya untuk bersekolah di Swiss, ia pun setuju. Pada akhir tahun 1989, Sabine meninggalkan Indonesia.
Setelah dibesarkan di tempat yang paling primitif di dunia, kini ia ingin menikmati kecanggihan Eropa. Lambat laun, Sabine merasa terperangkap, terjebak di antara dua dunia. Pertanyaan mengenai jati diri menyelinap di hatinya. Apakah aku orang Eropa? Apakah aku orang Fayu? Ia mengalami gegar budaya yang parah, dan kerinduan pada rimba Papua membayanginya tiap hari, sehingga tebersit keinginan untuk bunuh diri. Namun, bayangan tentang rimba yang indah dan mimpi tentang kakak Fayu-nya, Ohri, berhasil meredakan kekalutan hatinya. Ia terbangun pada suatu pagi dengan tekad aka
Ketersediaan
YPII0000953SMATRI | 823 KUE j | Perpustakaan SMA Trinitas Bandung | Tersedia |
Informasi Detail
- Judul Seri
-
-
- No. Panggil
-
823 KUE j
- Penerbit
-
:
Erlangga.,
2006
- Deskripsi Fisik
-
384 hlm ; 17,5 cm
- Bahasa
-
Indonesia
- ISBN/ISSN
-
9789790152250
- Klasifikasi
-
823
- Tipe Isi
-
-
- Tipe Media
-
-
- Tipe Pembawa
-
-
- Edisi
-
1
- Subjek
-
-
- Info Detail Spesifik
-
Jungle Child berkisah tentang Sabine yang pindah ke Irian Jaya pada tahun 1980 bersama orang tua dan dua adiknya. Mereka hidup di tengah-tengah suku Fayu, suku yang baru saja ditemukan dan sama sekali belum tersentuh oleh peradaban modern. Di belantara itu, Sabine kecil tak lagi bermain boneka, tetapi bermain dengan ular serta busur dan panah sungguhan. Bukan permen karet yang ia kunyah, melainkan serangga dan kelelawar. Hari-harinya penuh petualangan seru, dan ia sangat menikmati kehidupannya di rimba Papua.
Ketika itu, suku Fayu masih hidup dalam lingkaran kekerasan. Perang antarsuku, sengketa tanah, dan pembunuhan bisa terjadi kapan saja. Seseorang bisa membunuh anggota suku lain untuk membalaskan dendam anggota keluarga atau sukunya. Namun, berkat interaksi dengan keluaraga Kuegler, orang-orang suku Fayu belajar untuk hidup dalam damai, mengasihi sesama, dan saling memaafkan. Bahkan ada anggota suku yang pola pikirnya begitu terpengaruh oleh nilai-nilai cinta kasih yang diperlihatkan oleh orang tua Sabine; ia menikahi hanya satu perempuan dan memperlakukannya dengan sangat baik, bahkan bisa dibilang romantis.
Kehidupan yang penuh petualangan itu terputus ketika keluarga Sabine berlibur ke Jerman untuk waktu yang cukup lama. Anak-anak keluarga Kuegler menikmati hal-hal baru yang mereka temukan di Eropa, walau bukan berarti mereka bisa menjalani kehidupannya dengan mudah. Supermarket, jalan tol, pemanas ruangan, dan terutama salju, memang membuat anak-anak keluarga Kuegler terpukau, namun mereka selalu rindu pada rimba Papua dan teman-teman Fayu mereka. Akhirnya, mereka berhasil kembali ke Papua setelah orang tua Sabine ditugaskan lagi oleh sebuah organisasi lain.
Pertemuan kembali dengan suku Fayu terasa mengharukan. Sabine begitu senang bisa bertemu lagi dengan teman-teman masa kecilnya. Ia kembali melanjutkan hidup dengan penuh semangat. Namun, Sabine merasa sedikit bersalah. Entah mengapa, ia rindu pada aroma kopi Jerman, roti gulung, dan cuacanya yang dingin. Hatinya terpecah. Di satu sisi, ia sangat mencintai reman-teman Fayu-nya dan keindahan alam Papua. Namun, di sisi lain, kenangan pada hal-hal menakjubkan yang ia temui di Jerman membuatnya tersiksa. Sampai pada suatu hari, Ohri, kakak Fayu Sabine, meninggal dunia. Sabine begitu terpukul. Hari itu adalah hari yang kelam bagi keluarga Kuegler, hari yang tak ingin dikenang oleh Sabine. Jadi, ketika orang tuanya menawarkannya untuk bersekolah di Swiss, ia pun setuju. Pada akhir tahun 1989, Sabine meninggalkan Indonesia.
Setelah dibesarkan di tempat yang paling primitif di dunia, kini ia ingin menikmati kecanggihan Eropa. Lambat laun, Sabine merasa terperangkap, terjebak di antara dua dunia. Pertanyaan mengenai jati diri menyelinap di hatinya. Apakah aku orang Eropa? Apakah aku orang Fayu? Ia mengalami gegar budaya yang parah, dan kerinduan pada rimba Papua membayanginya tiap hari, sehingga tebersit keinginan untuk bunuh diri. Namun, bayangan tentang rimba yang indah dan mimpi tentang kakak Fayu-nya, Ohri, berhasil meredakan kekalutan hatinya. Ia terbangun pada suatu pagi dengan tekad aka
- Pernyataan Tanggungjawab
-
Sabine Kuegler
Versi lain/terkait
Tidak tersedia versi lain
Lampiran Berkas
Komentar
Anda harus login sebelum memberikan komentar